Sabtu, 26 Maret 2011

Opini: Bersama Kita Bisa! (???)

Sejujurnya. Penulis sungguh tidak pandai menyimpulkan sebuah perkara lantas merangkaikannya dalam satu baris judul yang singkat, yang catchy, yang penuh makna, atau apalah apapun itu. Singkat kata, jadi lah slogan salah satu partai besar ini sebagai judul tulisan kali ini -menilik makna 'bersama'- yang pada prakteknya kekuatan kata 'bersama' itu luar biasa dahsyatnya. Luar biasa dahsyat _karena memang_ dengan Bersama Kita Bisa!. Lalu kenapa 'Bersama Kita Bisa'? lho 'kan bisa pakai judul yang lain seperti 'Bersih, Adil, dan Makmur' atau 'SBY-Berbudi'...yah karena penulis ini pada dasarnya amat sangat tidak kreatif dalam memilih judul, selain penulis memang bukan kader partai mana-mana kecuali penganut 'Bebas Umum dan Rahasia'. Sedikit ngawur tapi tak apalah.

Tidak lebih tidak kurang. Apa yang tersirat dalam tulisan ini adalah ungkapan kerinduan luar biasa penulis terhadap tanah air. Rindu segala galanya. Ya rindu ubi goreng, ya rindu singkong goreng, ya rindu pisang goreng, dan gorengan-gorengan lainnya...dengan secangkir teh atau secangkir kopi di seruput, lalu orang bilang 'ah kurang lengkap kalau tidak dinikmati bersama kawan dan kerabat handai taulan', itu sebab muncul seribu satu cerita tentang 'Indahnya Kebersamaan' di negeri kita yang sungguh _sekali lagi_ penulis luar biasa merindukan itu. Darah daging yang tulen asli Indonesia, ya budaya dan mental yang mengalir dalam diri penulis ini pun ya pure cetakan Indonesia. Wong dari kelas 1 duduk di Sekolah Dasar, lekat benar penulis dengan peribahasa-peribahasa ini : Ringan sama di Jinjing Berat sama di pikul, Makan tidak Makan yang penting kumpul, atau ada lagi istilah lain 'Sama Rata Sama Rasa'. Dari kelas 1 Sekolah Dasar hingga duduk di bangku kelas 3 SMA, bayangkan, masih dengan mata pelajaran sejenis _kecuali judulnya saja berubah_ 9 tahun penulis membaca isi wejangan tentang tata bernegara untuk menjadi warga negara yang baik. Si penulis di ajarkan tentang norma-norma bermasyarakat. Jadilah masyarakat Indonesia yang punya sikap tenggang rasa terhadap sesama, sikap gotong royong, sikap kebersamaan, sikap sopan santun...sikap...sikap...dan sikap. Tapi jangan main-main, pelajaran sakti itu mumpuni men-darah daging dalam benak setiap anak negeri kita, saking saktinya masyarakat di negeri ini rela biar gak makan yang penting kumpul!.

Bisa jadi. Latar belakang negara agraris yang gemah ripah loh jinawi ini telah membentuk kebiasaan 'bersama' tersebut. Ketergantungan hidup masyarakat dulu dari alam menciptakan sistem kerja yang serba komunal atau berkelompok. Pagi-pagi beramai ramai ke ladang, bekerja bersama sama di ladang (sambil bernyanyi bersama pula!), hingga hasil panen tercapai dinikmati bersama-sama diakhiri dengan ritual kepercayaan melarung, tari, dan sebagainya...yang juga dirayakan serempak bersama-sama. Sampai tiba musim paceklik, sayangnya, pun kelaparan sama-sama. Istilah 'orang kampung', memang pada dasarnya kita _termasuk penulis_ adalah orang kampung 'kaget' yang terkaget-kaget dengan booming harga minyak di Asia tahun '70an. Tambah kaget lagi negeri kita dijuluki macan Asia di eranya. Namun seperti apa pun gaya hidup orang kampung itu di masa kini, norma-norma 'kebersamaan' bentukan generasi sebelumnya terlanjur melekat dan jadilah darah daging seutuhnya yang dimiliki penulis saat ini layaknya kebanyakan orang Indonesia. Bukti slogan 'Bersama Kita Bisa!' membuat si empunya partai naik tahta dua kali lho. Kebersamaan. Dahsyat.

Sampai di sini. Penulis mengakui, belum ada rujukan yang digunakan oleh penulis untuk memenuhi hasrat keingin tahuan pembaca tentang arti 'bersama' itu sendiri, baik dari sumber yang sekelas Bapak J.S. Badudu atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penulis akui kekhilafan itu. Sekiranya pembaca dapat menyiratkan sendiri arti 'kebersamaan'....bayangkan saja peristiwa-peristiwa berikut; kerja bakti kampung hari minggu (bersama-sama), ronda malam menjaga keamanan (bersama-sama), nangkep maling lalu mengeroyoknya ramai-ramai (bersama-sama), tawuran antar kampung (bersama-sama), tawuran pelajar (bersama-sama), korupsi dari anak buah sampai kepala (bersama-sama), dan...segala kegiatan yang di lakukan lebih dari satu, dua, tiga sampai tak terhingga, itu bersama-sama.

Ijinkan lah sekali lagi penulis sedikit menyentil apa yang selama ini telah tertanam dalam benak kita sebagai bangsa yang bernegara. Tidak perlulah kiranya di-hiperbola-kan berlebihan kulture kebersamaan yang mengakar kuat dalam tubuh kita. Terlahir sebagai manusia bijak, setiap penduduk di bumi, warna apapun dan bangsa apapun ia, sudah terbentuk jiwa dan rasanya sejak berusia 14 minggu berupa embrio. Lepas dari jiwa kebersamaan yang kita agungkan, adalah sebuah bangsa di belahan dunia sana yang -barangkali- justru lebih humanis jiwanya, lebih peka dengan rasa, dan lebih jauh menghargai hak-hak manusia yang lahir sebagai bagian dari sebuah peradaban. Sebagai bangsa kita memang 'kadung' terlalu ikhlas untuk bahu membahu keluar dari segala kesulitan bersama. Kita terbiasa gotong royong yang sesungguhnya kebiasaan tersebut lebih terbentuk karena dipaksa keadaan. Dipaksa, karena kita, bangsa ini, jauh-jauh hari sudah disiapkan mentalnya oleh segelintir penguasa untuk mampu menanggung beban yang seharusnya adalah tanggung jawab mereka.

Penulis, pembaca, adalah kita masyarakat yang rindu akan kemanjaan sebuah pelayanan. Sesekali kita jenuh turun bersama bahu membahu keluar dari persoalan hasil karya penguasa yang carut marut. Kita jenuh 'dipaksa dengan kemampuan sendiri' untuk gotong royong turun ke jalan memperbaiki jembatan rusak, jalan berlubang, sekolah ambruk, pengadaan listrik di pelosok, mengentaskan kemiskinan bersama, bahkan untuk ngorek parit di depan halaman rumah kita sendiri bersama!. Jikalau mereka, para pemimpin yang melayani itu datang dari belahan dunia lain dan melihat betapa kulture kebersamaan mendarah daging dalam segenap jiwa rakyat Indonesia, mungkin mereka akan berpikir betapa nyamannya jadi pemimpin di negeri ini. Sungguh tidak repotnya!.

Suatu hari penulis melintas di pusat kota atau Town Centre yang cukup ramai di Northampton. Segerombol pemuda (geng) memaksa membobol sebuah toko jam yang terkenal mahal. Hiruk pikuk warga kota melintas terkesan acuh tak acuh. Hey, ini upaya perampokan...kok tidak ada yang ramai-ramai bertindak. Batin penulis. Bengong. Nontonin. (seperti kebiasaan di negeri asal). Tidak butuh waktu lebih dari lima menit. Kamera CCTV di setiap pojok kota menjawab segalanya, cukup polisi saja yang kejar-kejaran dengan penjahat. Polisi di sini tidak butuh massa rupanya. Ini dia yang dikatakan The right man is in The right place.

Kita akan terus bermimpi, kelak rakyat di tanah air sendiri tidak perlu memikul beban dan tanggung jawab penguasa bersama-sama. Kita kenyang gotong royong, kita kenyang dibiasakan dengan susah. Biarkan mereka, para pemimpin yang memiliki tugasnya menjalankan amanahnya dan rakyat menikmati amanah itu. Tidak selalu 'Bersama Kita Bisa!' senjata mengatasi persoalan benang kusut negeri ini. Kebersamaan itu indah, namun tidak jika untuk memikul beban bentukan segelintir elit dan membiarkan mereka menari nari di atasnya. Kisah nyata di Town Centre tadi adalah inspirasi penulis sehingga timbul opini ini. Penulis rindu membersihkan lingkungan bersama-sama, diakhiri dengan pisang goreng dan segelas kopi sambil bercengkrama bertemu orang-orang baru di negara ini, sayangnya pengurus negeri ini luar biasa cemerlang dalam hal melayani kebutuhan fasilitas warganya. Jadilah rakyat di negeri belahan dunia lain ini jarang sekali -hampir tidak pernah- gotong royong.

Northampton, 20 Maret 2011
Continue Reading...

Selasa, 15 Maret 2011

Hore.... Sumut Juara III Sengketa Tanah

Selain menjadi kota terbesar ketiga di Indoneesia, ternyata Propinsi Sumatera Utara pun menduduki ranking yang sama untuk urusan sengketa tanah. Dalam kasus sengketa tanah, Sumatera Utara berada pada posisi ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Hingga saat ini, sedikitnya 3.000 hektar tanah di Kabupaten/Kota di Sumut masih bermasalah.
Continue Reading...

Senin, 14 Maret 2011

Lahannya Diserobot, Nenek Rahmah Segel Pabrik Tower

ilustrasi: Antara
Barang kali memang sudah begini nasib rakyat pinggiran. Bahkan untuk membela nasibnya saja, mereka harus berjuang keras sendirian.

Nenek Rahmah (75) warga Lingkungan Rombongan Kelurahan Kepuh Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon, Banten,   mendatangai PT Korindo Heavy Industry, di Jalan raya Anyer, Desa Gubung Sugih, Cilegon, Rabu (9/3), untuk mempertahankan nasibnya.
Pasalnya, Rahmah yang merupakan ahli waris keluarga almarhum Kamsari Adib pemilik lahan seluas 6000 meter yang saat ini dikuasai oleh perusahaan asal Korea Selatan sejak tahun 2007 lalu .  Kedatangan Nenek tua itu tentu  saja untuk meminta transparansi PT Korindo dalam penyelesaian ganti rugi lahan
Continue Reading...

Mengantisipasi Booming Konflik Agraria 2012 di Jawa Timur

Konflik Agraria
Oleh: Mustain mashud

Pengantar
Konflik tanah yang melibatkan rakyat, khususnya petani, baik dengan negara maupun dengan swasta sesungguhnya sudah terjadi sejak jaman kerajaan, terutama ketika Belanda menapakkan kakinya pertamakali di Indonesia. Berbeda dengan konflik tanah di jaman kerajaan yang lebih bernuansa kultural-hegemonik feodalistik, konflik dengan kolonial Belanda lebih berdimensi struktural kapitalistik yang eksploitatif.
Sejak era kolonial hingga kini, sumber persoalan hubungan konfliktual antara negara dan rakyat dalam hal hak penguasaan dan atau kepemilikan tanah adalah terletak pada sumber dan dasar hukum yang dipergunakan, yakni hukum negara yang positivistik dan hukum rakyat yang lokal yang acap disebut sebagai hukum adat. Kedua nya mempunyai latar historis dan dasar rasionalitasnya sendiri-sendiri.
Continue Reading...

Dari Depan Laptop

S E G E R A   H A D I R
Continue Reading...
"Jalan Lain Menuju Kebebasan"
 

Blogroll

My Blog List

Recent Comments

swaraswara Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template